Kamis, 16 Juni 2011

Antropologi Pendidikan Islam

Antropologi adalah suatu ilmu yang memahami sifat-sifat semua jenis manusia secara lebih banyak. Antropologi yang dahulu dibutuhkan oleh kaum misionaris untuk penyebaran agama Nasrani dan bersamaan dengan itu berlangsung sistem penjajahan atas Negara-negara diluar Eropa, dewasa ini dibutuhkan bagi kepentingan kemanusiaan yang lebih luas. Studi antropologi selain untuk kepentingan pengembangan ilmu itu sendiri, di Negara-negara yang telah membangun sangat diperlukan bagi pembuatan-pembuatan kebijakan dalam rangka pembangunan dan pengembangan masyarakat.
Sebagai suatu displin ilmu yang amat luas cakupannya, maka tidak ada seorang ahli antropologi yang mampu menelaah dan menguasai antropologi secara sempurna. Demikianlah maka antropologi dipecah-pecah menjadi beberapa bagian dan para ahli antropologi masing-masing mengkhususkan diri pada spesialisasi sesuai dengan minat dan kemampuannya untuk mendalami studi secara mendalam pada bagian-bagian tertentu dalam antropologi. Dengan demikian, spesialisasi studi antropologi menjadi banyak, sesuai dengan perkembangan ahli-ahli antropologi dalam mengarahkan studinya untuk lebih memahami sifat-sifat dan hajat manusia secara lebih banyak. dalam hubungan ini ada antropologi ekonomi, antropologi politik, antropologi kebudayaan, antropologi agama, antropologi pendidikan, antropologi perkotaan, dan lain sebagainya. Grace de Raguna, seorang filsuf wanita di tahun 1941 menyampaikan pidatonya dihadapan American Philosophical Association Eastern Division, bahwa antropologi telah member lebih banyak kejelasan tentang sifat manusia daripada semua pikiran filsuf atau studi para ilmuwan di laboratorium (Haviland 1988). Meskipun banyak spesialisasi dalam antropologi, para ahli antropologi tetap menaruh perhatian kepada perspektif yang lebih luas dan menyeluruh tentang umat manusia.
Antropolgi secara garis besar dipecah menjadi dua bagian, yaitu antropologi fisik/biologi dan antropolgi budaya. Tetapi dalam pecahan antropologi budaya, terpecah-pecah lagi menjadi banyak sehingga spesialisasi-spesialisasi, termasuk antropologi pendidikan. Seperti halnya kajian antropologi pada umumnya antropologi pendidikan berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya dalam rangka memperoleh pengertian yang lengkap tentang manusia dan perilakunya dalam rangka memperoleh pengertian lengkap tentang keanekaragaman manusia khususnya dalam dunia pendidikan. Studi antropologi pendidikan adalah, spesialisasi yang termuda dalam antropologi. Setelah dasa warsa tahun 60-an Amerika Serikat semakin banyak diperlukan keahlian dalam antropologi untuk meneliti masalah-masalah pendidikan, maka antropologi pendidikan kemudian dianggap dapat berdiri sendiri sebagai cabang spesialisasi antropologi yang resmi.
Antropologi pendidikan apabila dihadirkan sebagai suatu materi kajian, maka yang dikaji adalah penggunaan teori-teori dan metode yang digunakan oleh para ahli antroplogi serta pengetahuan yang diperoleh khususnya yang berhubungan dengan kebutuhan manusia atau masyarakat. Dengan demikian, kajian materi Antropologi Pendidikan, bukan bertujuan menghasilkan ahli-ahli antropologi melainkan menambah wawasan ilmu pengetahuan tentang pendidikan melalui perspektif antropologi. Meskipun berkemungkinan ada yang menjadi ahli Antropologi Pendidikan setelah memperoleh wawasan pengetahuan dari mengkaji Antroplogi Pendidikan.

A. Permasalahan
Seperti telah dikemukan dimuka bahwa di Negara-negara yang tengah membangun sangat diperlukan pengenalan kondisi masyarakat yang lebih baik dan lebih lengkap agar pembangunan yang diberlakukan tidak menimbulkan kesenjangan dengan kondisi yang sejatinya. Ketidakberhasilan untuk membangun, bahkan kegagalan antara lain dikarenakan pemberlakuan kebijakan yang tidak kondusif sehingga maksud dan tujuan pembangunan yang ingin menghadirkan kesejahteraan, justru berbalik menjadi penolakan oleh masyarakat atau karena kesewenang-wenangan pihak penguasa.
Nilai-nilai budaya lama yang masih hidup ditengah masyarakat dan member manfaat bagi kesejahteraan bersama seharusnya tetap dipelihara dan tidak perlu buru-buru diganti sehingga menimbulkan ‘culture shock’ yang merugikan masyarakat. Dalam hubungan ini kearifan lokal kiranya memang perlu digalakkan. Pada masyarakat di tempat-tempat tertentu, senantiasa ditemukan nilai-nilai budaya yang berharga dalam kehidupan bersama tetapi oleh pengaruh budaya luar nilai-nilai budaya lokal yang sesungguhnya banyak bermanfaat menjadi tergeser dan akhirnya hilang. Gotong royong , Pella gandong (Ambon), Jumat bersih (Lombok barat) adalah contoh-contoh nilai budaya local yang seharusnya dipelihara dan tidak tergeser oleh budaya luar. Demikian juga budaya tudang sipulung (Bugis) perlu terus dilestarikan untuk anak cucu.

1. Antropologi Pendidikan Islam
Dalam silabus Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Tahun 2004, terdapat suatu mata kuliah eleksi, Antropologi Pendidikan Islam. Mata kuliah tersebut diberikan untuk jurusan Pendidikan Agama Islam semester VI. Satu pertanyaan yang tampaknya serius adalah : adakah antropologi islam ?. Sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri agaknya memang belum ada. Tetapi sebagai suatu pengetahuan, sah-sah saja, tidak ada salahnya. Meskipun demikian, dalam rangka kegiatan akademik di suatu perguruan tinggi, apakah tidak ‘janggal’ apabila ada suatu mata kuliah formal tetapi materi kajiannya belum dapat dikategorikan dalam kategori disiplin ilmu pengetahuan. Sesungguhnya tidak ada istimewa dari pertanyaan tersebut karena banyak contoh lain dari suatu mata kuliah yang tidak berdiri sendiri sebagai suatu disiplin yang otonom melainkan merupakan derivat atau keluasan dari disiplin ilmu yang otonom. Jadi Antropologi Pendidikan Islam juga merupakan keluasan dari Antropologi.
Penambahan kata Islam dibelakang Antropologi agaknya berhubungan dengan issue islamisasi ilmu pengetahuan seperti Sosiologi Islam, Ekonomi Islam, Biologi Islam, Kimia Islam, Matematika Islam. Pandangan yang demikian mau tidak mau harus ada pemilahan misalnya ada Antropologi Islam dan Antropologi Non Islam, Biologi Islam dan Biologi non Islam, mengandung kategori lainnya misalnya Kafir,Musyrik, Kristen, Budha dan sebagainya. Konsekuensi lebih lanjut harus ada pembedaan ilmu pengetahuan dengan indikator-indikator tertentu menurut agama-agama tertentu. Hal ini tentu sangat rumit.
Terlepas dari kerumitan tersebut, maka Antropologi Islam tentunya harus dikategorikan bersama dengan Ekonomi Islam. Dalam Ekonomi Islam, kaidah-kaidah keilmiahannya bersumber dari kitab suci Al Qu`ran dan dari As Sunah. Seperti Ekonomi Islam (juga Hukum Islam) yang sejak awal pertumbuhannya telah diberi contoh oleh nabi dan juga diteruskan oleh para sahabat, Antropologi Islam kaidah-kaidah keilmiahannya seharusnya juga bersumber atau didasarkan pada Al Qu`ran dan As Sunah. Akan tetapi dalam sejarah kebudayaan Islam belum ada pengakuan terhadap tokoh-tokoh atau pelopor Antropologi yang diakui dari zaman nabi atau sesudahnya.


Tokoh-tokoh pelopor antropologi pada umumnya yang dikenal antara lain :
1. EB. Taylor (1832-1971) yang pertama membuat definisi kebudayaan: sebagai “kompleks keseluruhan yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, moral, kebiasaan dan lain-lain kecakapan dan kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat” (1958).
2. B. Malinowski (1884-1942) yang melahirkan teori fungsional, masyarakat dilihat sebagai totalitas fungsional. Seluruh adat istiadat dan kebiasaan serta praktik harus difahami dalam totalitas konteksnya dan dijelaskan dengan melihat fungsinya bagi anggota masyarakat yang bersangkutan (1922).
3. Redcliffe-Brown (1881-1995) yang melahirkan teori fungsionalisme struktural. Masyarakat beserta struktur sosialnya dipandang sebagai organism yang sama dengan anatomi tubuh . tubuh bisa sehat, tapi bisa sakit oleh sebab-sebab tertentu yang terganggu fungsinya (1952).
4. Claude Levi Strauss (lahir 1908) pendiri teori strukturalisme dan penemu metode analisis unsur-unsur kebudayaan dengan metode kuliner. Suatu metode yang terdiri dari tiga jenis : Mentah-dimasak-fermentasi (peragian). Untuk memahami system pemikiran pada masyarakat pada cerita rakyat, dianalisis dengan sudut pandang oposisi biner (laki-laki–perempuan, matang-mentah, bumi-langit, atas-bawah dan sebagainya) (lih, ivan Baal,1970)
Tokoh-tokoh Antropologi yang lain masih banyak, tetapi mereka kebanyakan orang-orang barat yang tidak beragama Islam. Islamisasi ilmu pengetahuan yang pembahasannya menjadi rumit tersebut, sesungguhnya bisa disederhanakan apabila dipahami anjuran Nabi Muhammad SAW : Tuntutlah ilmu walau ke negeri Cina ! ( Pada waktu itu Islam belum berkembang sampai negeri Cina).
Misalnya pada zaman Nabi, di negeri Cina, ilmu yang telah maju adalah obat-obatan (farmakologi). Setelah beberapa orang sahabat Nabi berangkat untuk menuntut ilmu obat-obatan Cina beberapa tahun, setelah berhasil lalu pulang kembali ke kampong halaman, mereka lalu menjadi ahli obat-obatan (farmakologi) muslim. Apabila dibandingkan dengan farmakologi Cina asli dan non muslim, perbedaannya adalah pada cara kerja dan motivasi kerjanya. Yang muslim, bekerja itu dikaitkan dengan ibadah mencari keridhaan Allah. Sedang yang non muslim tidak demikian. Bisa jadi mereka bekerja hanya semata memperoleh keuntungan material saja, bahkan mungkin digunakan untuk kejahatan, misalnya meracun. Nisbah yang demikian, berlaku juga bagi penuntut ilmu yang lain yang berasal dari kawasan non muslim. Jadi, masalahnya menjadi bagaimana seharusnya memanfaatkan ilmu itu menurut Islam.
Sesungguhnya Ibnu Batutah (1304-1377 M) dapat disebut sebagai ahli antropologi Islam yang pertama. Tokoh yang bernama lengkap Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim at Tauji yang lahir di Tenger Maroko itu dikenal sebagai “Pengembara Islam”. Jelajah kembarannya dimulai dari Maroko ujung Barat laut Afrika—Mesir—Madinah—Mekah—Sumatra—Cina—Afganistan—Asia Tengah—Kaukasia—Spanyol dan lain-lain. Tokoh ini juga dikenal sebagai seorang etnografer. Keterangan tentang itu diperoleh dari kitab yang tulisannya berjudul : Tuhfah an Nazeer fi Garaib al Amsar wa Ajabul al Asfar (persembahan seorang pengamat tentang kota-kota asing dan perjalanan yang mengagumkan).
Mengingat Ibnu Batutah hidup beratus-ratus tahun sebelum Malinowski yang hanya mengamati kehidupan orang-orang Trobriand di Fasifik Selatan, maka pengamatan Ibnu Batutah diberbagai Negara, tentunya lebih kaya memberi informasi perihal perilaku manusia ynag diamati dengan perbedaan kebudayaan mereka yang meliputi tiga benua (Nurkholis Majid, 2001).
Selain Ibnu Batutah sebagai perintis antropologi, dikenal juga tokoh yang bernama Ibn Khaldun, lahir di Tunusia (1332) dan wafat di Kairo (1460 M). Nama lengkapnya Waliuddin Abd.Rahman bin Muhammad bin Abi Bakar Muhammad bin Al Hasan. Beliau gemar mencantumkan nama suku dibelakang namanya : Khaldun. Tokoh ini adalah perintis sosiologi Islam. Karya besarnya berjudul Al Iber (tujuh jilid). Kitab ini didahului dengan kitab yang sangat terkenal yakni Muqaddimah Ibnu Khaldun. Isi kitab ini mengemukakan teori sosial politik yang member pengaruh pada kondisi sosiokultural, perkembangan dalam islam kemudian mendorong munculnya kristalisasi pengertian yang membedakan antara ilmu Agama dengan ilmu Umum. Kecemerlangan ilmu Islam menerangi dunia pada abad II dan III Hijriyah,setelah itu mulai redup. Meski abad 15 H oleh umat Islam ditekadkan sebagai Abad kebangkitan Islam, tetapi ilmu-ilmu dari Cina (juga barat) tetap harus dikuasai dalam rangka memancarkan lagi khazanah kebudayaan Islam klasik menjadi modern.
2. Sasaran Kajian Antropologi Pendidikan Islam.
Pendidikan sebagai suatu ilmu memiliki sifat normatif. Artinya ada seperangkat norma yang harus dilakukan oleh pendidik dan anak didik dalam rangka menuju tujuan yang diinginkan. Norma-norma tersebut mengacu pada nilai-nilai ideal yang berlaku dalam kehidupan bersama (sosial).
Norma, pada umunya diartikan sebagai suatu aturan yang menentukan kebiasaan, kelakuan yang diterapkan dalam kehidupan sosial. Norma ditengah masyarakat dibedakan menjadi dua sifat sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan. Norma yang berakibat berat apabila dilanggar disebut tata cara (Koentjaraningrat, 1981L197). Akibat berat dari pelanggaran norma misalnya sanksi sosial berupa pengusiran, atau denda yang harus dibayar. Akibat ringan dari pelanggaran norma misalnya disesalkan oleh sebagian besar anggota masyarakat atau hanya ditertawakan.
Orang-orang yang berlakukan sesuai dengan norma-norma yang berlaku, disebut orang bersusila. Sebaliknya sebutan asusila ditujukan kepada orang yang kelakuannya melanggar norma-norma. Demikian juga sebutan orang bermoral, ditujukan kepada orang-orang yang memilih pengetahuan tentang moral dan diwujudkan dalam perilakunya. Sebaliknya sebutan amoral, ditujukan kepada orang yang perilakunya tidak mengacu atau mengabaikan pengetahuan moral. Interaksi antar individu dalam suatu masyarakat dalam rangka kehidupan masyarakat diatur oleh norma-norma berupa pola-pola yang resmi, disebut pranata.
Norma sebagai acauan kelakuan yang diharapkan dalam suatu masyarakat berarti mempunyai bobot nilai yang ideal. Akan tetapi oleh perbedaan pola budaya yang dianut oleh masyarakat tertentu berbeda dengan masyarakat lain maka apa yang dianggap ideal oleh suatu masyarakat bisa saja berbeda dengan anggapan masyarakat lainnya. Suatu contoh : ada masyarakat yang menganggap kurang ajar apabila ada yang berani berkata keras kepada orang tuanya. Akan tetapi CR. Ember dan Malvin Ember (1986) dalam laporan penilitiannya member ilustrasi bahwa ada anak-anak suku Yanumamo yakni Indian yang bermukim diperbatasan Venezuela dan Brazil, apabila sedang kesal dan marah kepada orang tua, mereka menampar orang tuanya. Pekerjaan seperti itu bukannya dicela melainkan banyak mendapat pujian.
Pengetahuan normatif , dapat disebut sebagi naluri apabila dilihat terhadap sikap orang tua terhadap anaknya. Oleh karena itu, pendidikan yang diberikan orang tua terhadap anaknya lebih bersifat naluri. Seorang yang pekerjaannya mencuri (maling) dan tidak pernah memperoleh pendidikan formal, tidak mendidik anaknya agar menjadi maling. Banyak dijumpai orang tua yang “mulai” mendidik anaknya dengan member nama anak bersifat ideal, misalnya Slamet Raharjo, artinya sang anak jadilah orang yang selamat dan sukses. Rahmat Hidayat, selain agar anak memperoleh rahmat dari tuhan, juga selalu memperoleh petunjuk dari-Nya.
Sasaran kajian Antropologi Pendidikan Islam (API) ditujukan pada fenomena pemikiran yang berarah balik dengan fenomena Pendidikan Agama Islam (PAI). PAI arahnya dari atas kebawah sedangkan API, dari bawah Keatas. PAI dengan arah atas kebawah, berupa upaya agar wahyu dan ajaran Islam dapat dijadikan pandangan hidup anak didik (manusia), sedangkan API dengan arah dari bawah keatas berupa upaya mendidik anak, agar anak dapat membangun pandangan hidup berdasarkan pengalaman agamanya bagi kemampuannya untuk menghadapi lingkungan. Keduanya mempunyai perbedaan. Masaalah yang mendasar pada PAI berpusat pada bagaimana (metode) cara yang seharusnya dilakukan. Masalah yang mendasar pada API berpusat pada pengalaman apa yang ditemui.
Agama Islam datang kemudian setelah pendidikan berlangsung lama dalam sejarah manusia. Tetapi Islam datang memberi konteks terhadap praktek kebudayaan dan pendidikan yang tidak benar. Ketika Islam diterima diterima sebagai agama, maka para pemeluknya berusaha membetulkan kekeliruannya pada kebenaran yang dibawa Islam, dalam rangka itu, banyak masalah yang dialami. Masalah-masalah itu tidak lain, berasal dari kebudayaan yang lebih dulu ada, dan yang telah menjadi kelaziman yang berlaku. Islam sebagai pandangan hidup, tentu saja memberikan ajaran moral pada ummatnya dalam berbagai bidang kehidupan, dan dalam hal pendidikan member ajaran moral pendidikan Islam. Dengan demikian, kajian API dapat member informasi hal ihwal sosialisasi, enkulturasi dan internalisasi yang mengacu pada moral pendidikan Islam dalam kenyataan empiris.
Masalahnya menjadi sangat beraneka ragam keran masyrakat Islam tidak diartikan hanya sebagai suatu sistem kehidupan bersama manusia yang terpisah secara geografis dengan masyarakat lain yang bukan masyrakat Islam. Masyarakat Islam berada di berbagai tempat yang anggota-anggotanya tidak hanya berinteraksi dengan sesama anggota masyarakat yang beragama Islam tetapi dengan pemeluk agama-agama lain dengan pola-pola kehidupan yang beraneka ragam. Selain itu apabila dibuat klasifikasi, ada masyarakat Islam yang bermata pencaharian pertanian, keterampilan, perdagangan dan lain-lain. Oleh karena itu, sasaran kajian Api sesungguhnya sangat luas.
3. Kajian Antropologi Pendidikan Umum.
Ahli Antropologi Amerika Ralph Linton menganggap kebudayaan adalah warisan sosial. Warisan sosial tersebut mempunyai dua fungsi. Pertama, fungsi bagi penyesuaian diri dengan masyarakat. Kedua, fungsi bagi penyesuaian diri dengan lingkungan (1984). Tidak seperti manusia, binatang hanya mewarisi fungsi yang kedua dari generasi pendahulunya.
Masyarakat (society) dan kebudayaan (culture) saling bergantung satu sama lain. Masyarakat tidak mungkin merupakan satu kesatuan fungsional tanpa kebudayaan. Demikian pula sebaliknya. Individu-individu hanya sebagai medium ekspresi kebudayaan dan melangsungkannya dengan pendidikan terhadap generasi berikutnya. Implementasi terhadap pendidikan sebagai penyesuaian diri dengan masyarakat dan kebudayaan berlangsung dalam proses :
a. Proses sosialisasi. Proses ini dimulai sejak bayi baru lahir. Bayi interaksi dengan orang-orang disekitarnya hingga terjadi komunikasi timbak balik. Dalam perkembangan selanjutnya sering terjadi konflik dengan individu-individu lain yang disebabkan oleh ketidakharmonisan antara keinginan pribadi anak dengan tuntutan norma dan aturan yang berlaku dalam masyrakat kecil yakni keluarga. Dalam hal ini anak mengalami kesulitan karena otoritas dari orangtua atau individu yang lain yang lebih kuat. Kesulitan-kesulitan tersebut berupa ancaman, ketakutan, dan hukuman agar anak mau mengalahkan keinginan pribadi dan menuruti tuntutan aturan-aturan yang berlaku. Anak kecil belum mau tidur padahal seharusnya ia tidur, ditakut-takuti ada setan atau hantu terpaksa ia memeluk ibunya dan menyerah untuk diajak tidur. “awas, kalau nakal nanti dipukul”. Kalimat seperti itu berupa ancaman. Hukuman kadang-kadang ditimpakan pada anak karena melanggar peraturan. Dengan demikian dalam kehidupan masyarakat, ada norma dan aturan-aturan yang hanya dimengerti dan ditaati oleh setiap warga masyarakat. Anak diberi “training” sejak kecilnya. Anak yang berperilaku tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan, biasanya diberi sebutan anak “kurang ajar”, kurang mendapat “training” artinya sama dengan anak yang kurang memperoleh pendidikan.
Dalam proses sosialisasi, penguasaan bahasa bagi anak sangat penting, sebab dengan demikian anak lebih dapat mengemukakan maksud hati dan keinginannya, dan sebaliknya anak pun mengerti apa yang dikehendaki orang lain pada dirinya. Kemudahan ini mengurangi suara tangis sang anak, sebab sebelumnya suara tangis merupakan pernyataan rasa tidak puas yang disebabkan maksud hati tidak bisa difahami orang lain seperti yang diinginkan.
Sosialisasi nampaknya berbeda-beda dari golongan sosial dengan perbedaan status ekonomi, misalnya antara keluarga kaya berkecukupan dengan keluarga gelandangan berkekurangan. Pola asuh nuclear family juga berbeda dengan extended family, keluarga kampong berbeda dengan keluarga yang tinggal di kota. Ahli antropologi yang terkenal karena penelitian pendidikannya adalah Margaret Mead dengan buku laporan penelitian lapangan yang berjudul Growth and Culture (1951) dan Children and Ritual in Bali (1955), Coming og Age in Samoa (1928).
b. Proses Enkulturasi. Enkulturasi, artinya pembudayaan. Yang dimaksud disini adalah proses membudayakan anak manusia agar menjadi manusia yang berbudaya. Manusia yang berbudaya diawali didalam sistem kehidupan bersama yang disebut kelompok local yang meliputi lebih dari satu keluarga atau satu keluarga yang diperluas.
Kelompok lokal, atau bentuk masyarakat yang lebih luas dari itu senantiasa mempunyai tatanan tertentu, yang disebut pranata, yaitu sistem norma atau aturan-aturan mengenai suatu aktivitas masyarakat yang khusus (Koentjaraningrat, 1980:179). Oleh adanya pranata, maka adanya perbedaan perbedaan dapat berjalan dengan beraturan. Perbedaan tersebut menurut J. Van Baal (1988) meliputi jenis kelamin, umur, tempat dan kekerabatan. Selain itu juga ada perbedaan pengelompokkan politik.
Perbedaan jenis kelamin dengan berbagai cara oleh masyarakat dinyatakan secara cultural. Perbedaan alami antara laki-laki dan perempuan ialah perempuan melahirkan anak. Disamping itu perempuan dilengkapi dengan kelenjar-kelenjar susu sehingga mereka menjadi pengasuh anak. Melahirkan dan menyusui umumnya dianggap sebagai kodrat. Tetapi perempuan sebagai pengasuh anak meskipun pada umumnya dilakukan kaum perempuan, tetapi Linton (1984) menemukan pasangan laki-laki (suami) yang bertanggung jawab mengurus dan mengasuh anak serta memasak, sedangkan pasangan perempuan sebagai istri kerja tiap hari hanya bersolek dan merawat tubuhnya. Kebiasaan seperti itu terdapat di masyarakat Maraquesas, kepulauan di fasifik. Bisa jadi hal tersebut difahami sebagai imbangan kesulitan yang dialami oleh perempuan sebagai istri yang mengandung anak dan melahirkannya, tetapi wanita Arespesh (suku Indian) biasanya mengangkut beban yang lebih berat daripada pria sehingga batol kepala para wanita lebih keras daripada batok kepala pria.
Perbedaan jenis umur terlihat pada skala rentang kehidupan yang dikategorikan sebagai anak-anak, pemuda-pemudi, dewasa dan tua. Ahli folklore Prancis Arnold van Gennep banyak menjelaskan perihal upacara peralihan status dalam bukunya Les Rites de Passage (ritus peralihan kehidupan). Kehidupan menurutnya, penuh dengan perubahan-perubahan status seperti : kelahiran, pertunangan, perkawinan, kehamilan, menjadi ayah, menjadi ibu, lanjut usia, hingga meninggal dunia. Tiap-tiap peralihan dari status tertentu ke status yang lain, dalam antropologi disebut inisiasi. Karena tiap status memiliki tatanan tertentu, maka inisiasi juga sekaligus beralih dari satu tatanan ke tatanan lain berikutnya. Perubahan-perubahan status itu misalnya: berada dalam kandungan, kelahiran, menjadi dewasa, perkawinan, menjadi ayah, menjadi ibu, dan akhirnya meninggal dunia. Peralihan status seperti itu disebut lingkaran hidup. Dalam masyarakat tertentu peralihan status dipercaya mengandung aspek sacral karenanya sering ditandai dengan upacara.
c. Proses Internalisasi, yakni proses penerimaan dan menjadikan warisan sosial (pengetahuan budaya) sebagai isi kepribadian yang dinyatakan dalam perilaku sehari-hari selama hayat dikandung badan. Proses Internalisasi berlangsung sepanjang masa-masa pertumbuhan dan perkembangan anak ditengah lingkungan masyrakatnya. Dengan pengalamannya tersebut, seseorang memiliki pengetahuan dan nilai-nilai ideal atau sistem nilai dan dinyatakan dalam perilaku. sistem nilai tersebut dapat bersumber dari unsur-unsur kebudayaan, yang menurut Koentjaraningrat meliputi tujuh unsur, yakni : bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian hidup, sistem religi dan kesenian.
Pengalaman memiliki sistem nilai seseorang dibedakan oleh masyarakat dan budaya sebagai tempat internalisasi berlangsung. Dalam suatu masyarakat dengan kebudayaannya sendiri akan melahirkan jenis kepribadian yang umum bagi masyarakat yang bersangkutan yang dikenal dengan basic personality structure atau modal personality, sturuktur kepribadian dasar atau kepribadian rata-rata. Hal ini sangat erat kaitannya dengan proses pengasuhan yang telah dialami dimasa kecil. Dengan demikian kepribadian yang berbeda diantara suku-suku bangsa (dan juga bangsa-bangsa) sangat erat dengan cara-cara pengasuhan yang berbeda. Lain padang, lain belalang. Lain lubuk, lain ikannya. Demikian kata peribahasa Indonesia. Seorang wanita ahli antropologi Hildred Geertz (1981) mencatat bahwa di Indonesia terdapat banyak adat-istiadat yang berbeda-beda, yang membentuk kepribadian masing-masing warga masyarakat pendukung adat-istiadatnya. Menurutnya, Indonesia merupakan suatu contoh yang amat baik untuk studi ini.
Kepribadian rata-rata seperti yang telah disebutkan menunjukkan gambaran umum dari suatu masyarakat dengan kebudayaan sendiri. Namun kepribadian rata-rata sesungguhnya dapat diuraikan menjadi kepribadian individu-individu, yaitu ciri-ciri watak seorang individu yang konsisten yang berbeda dengan individu yang lain. Ciri-ciri untuk seorang dibedakan oleh perbedaan pengetahuan, kehendak keinginan serta perasaan antara satu individu dengan individu yang lain. Oleh karena itu setiap individu mempunyai kepribadian unik. Hal ini bisa digambarkan pada murid sekolah yang duduk dalam satu kelas. Meskipun materi pelajaran yang disampaikan oleh para guru itu sama, tetapi masing-masing murid mempunyai kepribadian yang berbeda-beda.
Studi terhadap kepribadian, sesungguhnya dilakukan oleh ahli-ahli psikologi. Meskipun demikian, antropologi juga memusatkan studi pada kepribadian dan gejala-gejala psikologi lainnya, disebut Antropologi Psikologi. Seorang ahli Antropologi Indonesia yang menulis studi Antropologi Psikologi ialah Prof. Dr. James Dananjaya (1988). Menurut Dananjaya, Indonesia sampai hari ini masih lebih banyak bersifat bhineka daripada tunggal ika.

A. Kesimpulan
Antropologi Pendidikan Islam, merupakan derivatif dari ilmu Antropologi. Antropologi sendiri sebagai suatu ilmu yang paling luas cakrawalanya dibanding ilmu-ilmu sosial, memiliki cabang yang banyak. Sebagai suatu ilmu yang membahas segala sesuatu yang ada hubungannya dengan mahluk manusia, mengakibatkan tiadanya seorang ahli antropologi yang mampu menguasai ilmu yang demikian luas cakupannya. Oleh karenanya sarjana-sarjana antropologi memusatkan kajiannya pada bagian-bagian tertentu dari antropologi. Antropolog Pendidikan merupakan satu kajian khusus tersebut.
Ketika Antropologi Pendidikan memusatkan studinya ada pendidikan Islam, maka antropologi tersebut diberi nama Antropologi Pendidikan Islam. Perbedaan antara studi Pendidikan (Agama) Islam dengan Antropologi Pendidikan Islam ; studi yang pertama memperoleh pengetahuan tentang metode menginternalisasikan ajaran Islam melalui pendidikan. Sedangkan studi yang kedua yakni Antropologi Pendidikan Islam akan memperoleh pengetahuan tentang fenomena kebudayaan berupa kegiatan/proses pendidikan yang ingin mengacu pada ajaran Islam dilingkungan masyarakat sekaligus lingkungan budaya tempat pendidikan berlangsung. Dengan demikian Antropologi Pendidikan Islam tidak akan menemukan dan memberikan konstribusi berupa teori-teori alternatif Pendidikan Islam, melainkan menemukan informasi berupa penjelasan masalah-masalah yang dialami oleh para pelaku pendidikan yang mencoba menyesuaikan pengalaman hidupnya dengan tuntutan ajaran agama Islam yang dipeluknya dalam rangka mengalihkan tongkat estafet “warisan sosial” pada generasi berikutnya.
Dari uraian diatas, dapat diperoleh pengertian bahwa bagi para peminat studi pendidikan Agama Islam, akan lebih memiliki tambahan pengetahuan yang akan lebih bermanfaat dalam memahami masalah-masalah yang senatiasa timbul dalam dunia Pendidikan Islam ditengah masyarakat.




DAFTAR PUSTAKA

Ember, CR dan Melvin, dalam To Ihromi (editor). Pokok-pokok Antropologi Budaya, Jakarta. PT. Gramedia, 1986
Geertz, Hidred, Aneka Budaya di Indonesia. Jakarta : yayasan ilmu-ilmu sosial FIS Universitas Indonesia, 1981
Haviland, William A, Antropologi jilid I dan II Alih bahasa RG Soekardjo, Jakarta : PT. Gramedia, 1970
J.Van Baal, Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya Hingga Dekade 1970, Jakarta :PT. Gramedia, 1970
James Dananjaya, Antropologi Psikologi, Jakarta : Rajawali Pers, 1988
Koentjraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta : Aksara Baru, 1980
Koentjraningrat, Sejarah Teori Antropologi, Jakarta : Penerbit UI Press, 1987
Linton, R. The Study Of Man, New York : Appelton, Century, 1936
Radcliffe-Brown, AR, Structure and Function In Primitive Society, London : Cohen and West Ltd, New York : The Macmillan Co, 1952
Nurcholis Majid, Ensklopedia Islam Untuk Pelajar (Jilid II), Jakarta : Penerbit PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001

Tidak ada komentar:

Posting Komentar