Kamis, 16 Juni 2011

Pajak Dalam Persfektif Islam


BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Masyarakat Indonesia mayoritas beragama Islam, prosentasenya mencapai 88%. Bahkan merupakan jumlah muslim terbesar di dunia. Berkaitan dengan harta dan penghasilan umat Islam, terdapat kewajiban berupa zakat bagi yang telah memenuhi syarat. Di sisi lain, sebagai warga negara Indonesia, umat Islam juga memiliki kewajiban pajak bagi yang telah memenuhi syarat, karena telah dibuat undang-undang yang mewajibkan itu. Pembayaran pajak merupakan perwujudan dari kewajiban kenegaraan dan peran serta Wajib Pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Sesuai falsafah undang-undang perpajakan, membayar pajak bukan hanya merupakan kewajiban, tetapi merupakan hak dari setiap warga Negara untuk ikut berpartisipasi dalam bentuk peran serta terhadap pembiayaan negara dan pembangunan nasional.
Menyikapi kewajiban pajak berdasarkan undang-undang ini, terdapat beberapa pendapat di kalangan umat Islam dari yang pro maupun yang kontra karena telah ada kewajiban zakat terhadap harta dan penghasilannya yang telah memenuhi syarat. Pro kontra terkait dengan hal ini harus didudukkan pada proporsi yang semestinya agar terjadi mutual understanding yang membawa kemaslahatan bagi masa depan kesejahteraan umat Islam khususnya dan bangsa Indonesia umumnya.

B.Rumusan masalah
Dalam konteks itulah makalah ini ditulis. Makalah ini akan mulai membahas tentang beberapa pertanyaan apakah makna, fungsi dan jenis-jenis pajak? Adakah pajak dalam Islam? Apa saja sumber pendapatan negara menurut Islam? Bagaimana posisi zakat terhadap pajak?




BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian, Fungsi, dan Jenis-Jenis Pajak di Indonesia
A.1. Pengertian Pajak
Pajak adalah a compulsory levy made by public authorities for which nothing is received direcly in return. Sommerfield mendefinisikan pajak adalah suatu pengalihan sumber-sumber yang wajib dilakukan dari sektor swasta kepada sektor pemerintah berdasarkan peraturan tanpa mendapat suatu imbalan kembali yang langsung dan seimbang, agar pemerintah dapat melaksanakan tugas-tugasnya menjalankan pemerintahan.Sedangkan menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH, pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa imbalan (kontra prestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum (public investment).
Menurut UU No 28 Tahun 2007, pasal 1, pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.[1] Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, ciri-ciri pajak adalah sebagai berikut:
1.       Pajak adalah pengalihan sumber-sumber dari sektor swasta ke sektor negara, artinya bahwa yang berhak melakukan pemungutan pajak adalah negara, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah (Pemda). Di Indonesia Pemda yang berwenang memungut pajak adalah pemerintah propinsi maupun pemerintah Kabupaten/Kota. Sedangkan yang dipungut adalah pihak swasta dalam pengertian luas baik sektor swasta, koperasi maupun BUMN dan BUMD dan lain-lain. Secara konsep pajak dapat dibayar dengan uang maupun barang atau jasa selain uang.
2.       Berdasarkan UU, artinya bahwa walaupun negara mempunyai hak untuk memungut pajak namun pelaksanaannya harus memperoleh persetujuan dari wakil-wakil rakyat dengan menyetujui UU. Karena pemungutan pajak berdasarkan UU berarti bahwa pemungutannya dapat dipaksakan
3.       Tanpa imbalan dari negara yang langsung dapat ditunjuk secara individual, artinya bahwa imbalan tersebut tidak dikhususkan bagi rakyat secara individual dan tidak dapat dihubungkan secara langsung dengan besarnya  pajak. Imbalan dari negara kepada rakyat sifatnya tidak langsung.
4.       4.Untuk membiayai pengeluaran pemerintah baik pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan.[2]
Adapun pungutan negara lainnya antara lain:
a. Bea Meterai
            Bea meterai adalah pajak atas dokumen dengan menggunakan benda meterai ataupun alat lainnya. Bea Meterai termasuk pajak karena memenuhi ke empat ciri pajak di atas.
b. Bea Masuk dan Bea Keluar
            Bea masuk dipungut atas barang-barang yang dimasukkan ke dalam daerah pabean berdasarkan harga/nilai barang itu (tarip  ad valorum) atau berdasarkan tarip yang sudah ditentukan (tarip spesifik). Bea Keluar dipungut atas barang-barang yang dikeluarkan dari daerah pabean berdasarkan harga/nilai barang itu (tarip  ad valorum) atau berdasarkan tarip yang sudah ditentukan (tarip spesifik)
C. Cukai
            Cukai adalah pungutan yang dikenakan atas barang-barang tertentu yang sudah ditetapkan untuk masing-masing jenis barang tertentu. Masing-masing jenis barang tertentu tersebut antara lain: tembakau dan minuman keras. Cukai termasuk dalam pengertian pajak.
D. Retribusi
            Retribusi adalah pungutan yang dilakukan sehubungan dengan sesuatu jasa atau fasilitas yang diberikan oleh pemerintah secara langsung dan nyata kepada pembayar. Contoh: retribusi parkir, retribusi jasa pelabuhan, retribusi pasar dan retribusi jalan tol. Retribusi tidak termasuk dalam pengertian pajak.
E. Iuran
            Iuran adalah pungutan yang dilakukan sehubungan dengan sesuatu jasa atau fasilitas yang diberikan pemerintah secara langsung dan nyata kepada kelompok atau golongan pembayar. Contoh: iuran televisi, iuran keamanan, iuran sampah. Iuran tidak termasuk pajak.[3]
A.2. Fungsi Pajak
Fungsi pajak dibagi menjadi dua, yaitu: fungsi budgetair atau fungsi finansial dan fungsi redistribusi pendapatan bagi masyarakat. Fungsi yang pertama, sebagaimana halnya perekonomian dalam suatu rumah tangga atau keluarga, perekonomian negara juga mengenal sumber-sumber penerimaan dan pos-pos pengeluaran. Pajak merupakan sumber utama penerimaan negara. Tanpa pajak, sebagian besar kegiatan negara sulit untuk dapat dilaksanakan. Penggunaan uang pajak meliputi mulai dari belanja pegawai sampai dengan pembiayaan berbagai proyek pembangunan. Pembangunan sarana umum seperti jalan-jalan, jembatan, sekolah, rumah sakit/puskesmas, kantor polisi dibiayai dengan menggunakan uang yang berasal dari pajak. Uang pajak juga digunakan untuk pembiayaan dalam rangka memberikan rasa aman bagi seluruh lapisan masyarakat. Setiap warga negara mulai saat dilahirkan sampai dengan meninggal dunia, menikmati fasilitas atau pelayanan dari pemerintah yang semuanya dibiayai dengan uang yang berasal dari pajak. Dengan demikian jelas bahwa peranan penerimaan pajak bagi suatu negara menjadi sangat dominan dalam menunjang jalannya roda pemerintahan dan pembiayaan pembangunan.[4]
Disamping fungsi budgetair (fungsi penerimaan) di atas, pajak juga melaksanakan fungsi regulerend atau fungsi mengatur yaitu fungsi pajak untuk mengatur sesuatu keadaan di masyarakat di bidang sosial/ekonomi/politik sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah. Oleh karena itu tingkat kepatuhan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya secara baik dan benar merupakan syarat mutlak untuk tercapainya fungsi ini. Sehingga pada akhirnya kesenjangan ekonomi dan sosial yang ada dalam masyarakat dapat dikurangi secara maksimal.[5]

Beberapa penerapan pelaksanaan fungsi mengatur antara lain :
1.        Pemberlakukan tarip progresif dengan maksud kalau hal ini diterapkan pada PPh maka semakin tinggi penghasilan semakin tinggi tarip pajaknya. Sehingga kebijaksanaan ini berpengaruh besar terhadap usaha pemerataan pendapatan nasional. Dalam hubuangan ini pajak dikenal juga berperan sebagai alat dalam redistribusi pendapatan nasional.
2.        Pemberlakuan bea masuk tinggi bagi barang-barang impor dengan tujuan untuk melindungi (proktesi) terhadap produsen dalam negeri, sehingga mendorong perkembangan industri dalam negeri.
3.        Pemberian fasilitas tax holiday atau pembebasan pajak untuk beberapa jenis industri tertentu dengan maksud mendorong atau memotivasi para investor atau calon investor untuk meningkatkan investasinya.
4.         Pengenaan pajak untuk jenis barang-barang tertentu dengan maksud agar menghambat konsumsi barang-barang  tersebut  atau kalau pajak tersebut diterapkan pada barang mewah sebagaimana PPn BM (Pajak Penjualan atas Barang Mewah) mempunyai maksud antara lain menghambat perkembangan gaya hidup mewah.[6]


A.3. Pembagian Jenis Pajak
Secara umum, pajak yang berlaku di Indonesia dapat dibedakan menjadi Pajak Pusat dan Pajak Daerah.[7] Pajak Pusat adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah Pusat yang dalam hal ini sebagian dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak - Departemen Keuangan RI. Sedangkan Pajak Daerah adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah Daerah baik di tingkat Propinsi maupun Kabupaten/Kota.
Pajak-pajak Pusat yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak meliputi:[8]
1.
Pajak Penghasilan (PPh)

PPh adalah pajak yang dikenakan kepada orang pribadi atau badan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu Tahun Pajak. Yang dimaksud dengan penghasilan adlah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang berasal baik dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat digunakan untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan dengan nama dan dalam bentuk apapun. Dengan demikian maka penghasilan itu dapat berupa keuntungan usaha, gaji, honorarium, hadiah, dan lain sebagainya.

2.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

PPN adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean. Orang Pribadi, perusahaan, maupun pemerintah yang mengkonsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dikenakan PPN. Pada dasarnya, setiap barang dan jasa adalah Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang PPN. Tarif PPN adalah tunggal yaitu sebesar 10%. Dalam hal ekspor, tarif PPN adalah 0%. Yang dimaksud Dengan Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, peraian, dan ruang udara diatasnya.


3.
Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM)

Selain dikenakan PPN, atas barang-barang kena pajak tertentu yang tergolong mewah, juga dikenakan PPn BM. Yang dimaksud dengan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah adalah :
a.
Barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok; atau
b.
Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu; atau
c.
Pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi; atau
d.
Barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status; atau
e.
Apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat, serta mengganggu ketertiban masyarakat.
4.
Bea Meterai

Bea Meterai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen, seperti surat perjanjian, akta notaris, serta kwitansi pembayaran, surat berharga, dan efek, yang memuat jumlah uang atau nominal diatas jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan.
5.
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

PBB adalah pajak yang dikenakan atas kepemilikan atau pemanfaatan tanah dan atau bangunan. PBB merupakan Pajak Pusat namun demikian hampir seluruh realisasi penerimaan PBB diserahkan kepada Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota.
6.
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)

BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Seperti halnya PBB, walaupun BPHTB dikelola oleh Pemerintah Pusat namun realisasi penerimaan BPHTB seluruhnya diserahkan kepada Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan.
Pajak-pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota antara lain meliputi:[9]
1.
Pajak Propinsi

a.
Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air;
b.
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air;
c.
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bemotor;
d.
Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan.
2.
Pajak Kabupaten/Kota

a.
Pajak Hotel;
b.
Pajak Restoran;
c.
Pajak Hiburan;
d.
Pajak Reklame;
e.
Pajak Penerangan Jalan;
f.
Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C;
g.
Pajak Parkir
Yang menjadi obyek pajak adalah penghasilan. Penghasilan diartikan dalam pengertian secara luas yaitu, “setiap tambahan kemampuan ekonomis yg diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yg berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yg dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yg bersangkutan dengan nama dan bentuk apapun”.[10]
Yang termasuk objek pajak dalam perundang-undangan PPh  adalah sebagai berikut:
  1. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini;
  2. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan
  3. laba usaha;
  4. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
    1. keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
    2. keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya;
    3. keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa pun;
    4. keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan; dan
    5. keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan;
  5. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak;
  6. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;
  7. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
  8. royalti atau imbalan atas penggunaan hak;
  9. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
  10. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
  11. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
  12. keuntungan selisih kurs mata uang asing;
  13. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
  14. premi asuransi;
  15. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
  16. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak;
  17. penghasilan dari usaha berbasis syariah;
  18. imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan
  19. surplus Bank Indonesia[11]



Yang dikecualikan dari objek pajak adalah:

a.
  1. bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah; dan
  2. harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan,
sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan;
b.
warisan;
c.
harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal;
d.
penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15;
e.
pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa;
f.
dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat:
  1. dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
  2. bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor;
g.
iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai;
h.
penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud pada huruf g, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan;
i.
bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif;


j.
penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:
  1. merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; dan
  2. sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia;
k.
beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
l.
sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; dan
m.
bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.[12]

B. Produk Hukum Perpajakan di Indonesia
Hukum pajak adalah kumpulan peraturan yang mengatur hubungan antara pemerintah dengan rakyat atau wajib pajak. Pemerintah sebagai pemungut pajak dan wajib pajak atau rakyat sebagai pembayar pajak. Hukum pajak sering disebut hukum fiskal. Pemerintah sebagai pemungut dan administratur pajak            disebut dengan Fiskus. Hukum pajak dapat dibagi menjadi 2 macam; yaitu hukum pajak materiel dan hukum pajak formil.[13]
Hukum pajak materiel adalah hukum pajak yang memuat norma-norma tentang:
·         Obyek pajak: yaitu obyek apa yang dikenakan pajak. Obyek pajak sering disebut tatsbestand
·         Subyek pajak; yaitu siapa yg dikenakan pajak
·         Tarip pajak
·         Sanksi-sanksi dalam hubungan hukum antara pemerintah dengan wajib pajak
Hukum pajak formil adalah hukum pajak yang memuat cara-cara untuk mewujudkan hukum pajak materiel menjadi suatu kenyataan atau realisasi. Hukum pajak formil antara lain memuat:
·         Tata cara (prosedur) penetapan jumlah utang pajak.
·         Hak-hak fiskus untuk mengadakan monitoring dan pengawasan
·         Kewajiban mengadakan pembukuan atau pencatatan
·         Prosedur pengajuan surat keberatan, banding dan sebagainya.
Pokok-pokok produk hukum nasional yang mengatur tentang perpajakan dapat disebutkan sebagai berikut:
1.   Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
2.   Undang-undang No. 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum Perpajakan. Perubahan terhadap UU No. 6 Tahun 1983.
3.   Undang-undang No. 12 Tahun 1985 tentang pajak bumi dan bangunan
4.   UU Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang pajak pertambahan nilai barang dan jasa dan pajak penjualan atas barang mewah.
5.   UU Nomor 21 Tahun 1997 tentang bea perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan (telah diamandemen menjadi UU Nomor 20 Tahun 2000.[14]


C. Pajak dalam Perspektif Hukum Islam
Ulama berbeda pendapat terkait apakah ada kewajiban kaum muslim atas harta selain zakat. Mayoritas fuqaha berpendapat bahwa zakat adalah satu-satunya kewajiban kaum muslim atas harta. Barang siapa telah menunaikan zakat, maka bersihlah hartanya dan ebbaslah kewajibannya. Dasarnya adalah berbagai hadis Rasulullah.[15] Di sisi lain ada pendapat ulama bahwa dalam harta kekayaan ada kewajiban lain selain zakat. Dalilnya adalah QS Al-Baqarah: 177; Al-An’am: 141; Al-Ma’un: 4-7; Al-Maidah: 2; Al-Isra’: 26; An-Nisa’: 36; al-Balad: 11-18, dan lain-lain. Jalan tengah dari dua perbedaan pendapat ini adalah bahwa kewajiban atas harta yang wajib adalah zakat, namun jika datang kondisi yang menghendaki adanya keperluan tambahan (darurah), maka aka nada kewajiban tambahan lain berupa pajak (dharibah). Pendapat ini misalnya dikemukakan oleh Qadhi Abu Bakar Ibn al-Aarabi, Imam Malik, Imam Qurtubi, Imam Syatibi, Mahmud Syaltut, dan lain-lain.[16]
Diperbolehkannya memungut pajak menurut para ulama tersebut di atas, alasan utamanya adalah untuk kemaslahatan umat, karena dana pemerintah tidak mencukupi untuk membiayai berbagai “pengeluaran”, yang jika pengeluaran itu tidak dibiayai, maka akan timbul kemadaratan. Sedangkan mencegah kemudaratan adalah juga suatu kewajiban. Sebagaimana kaidah ushul fiqh:
Ma layatimmul wajib illa bihi fahuwa wajib
Oleh karena itu pajak tidak boleh dipungut dengan cara paksa dan kekuasaan semata, melainkan karena ada kewajiban kaum muslimin yang dipikulkan kepada Negara, seperti member rasa aman, pengobatan dan pendidikan dengan pengeluaran seperti nafkah untuk para tentara, gaji pegawai, hakim, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, pajak memang merupakan kewajiban warga Negara dalam sebuah Negara muslim, tetapi Negara berkewajiban pula untuk memenuhi dua kondisi (syarat):
a.       penerimaan hasl-hasl pajak harus dipandang sebagai amanah dan dibelanjakan secara jujur dan efisien untuk merealisasikan tujuan-tujuan pajak.

b.      Pemerintah harus mendistribusikan beban pajak secara merata di antara mereka yang wajib membayarnya.[17]
Para ulama yang mendukung diperbolehkannya memungut pajak menekankan bahwa yang mereka maksud adalah system perpajakan yang adil, yang selaras dengan spirit Islam. Menurut mereka, system perpajakan yang adil adalah apabila memenuhi tiga criteria:
a.       Pajak dikenakan untuk membiayai pengekuaran yang ebnar-benar diperlukan untuk merealisasikan maqasid Syariah
b.      Beban pajak tidak boleh terlalu kaku dihadapkan pada kemampuan rakyat untuk menanggung dan didistribusikan secara merata terhadap semua orang yang mampu membayar.
c.       Dana pajak yang terkumpul dibelanjakan secara jujur bagi tujuan yang karenanya pajak diwajibkan.[18]
Dalam istilah bahasa Arab, pajak dikenal dengan nama Adh-Dharibah,[19] yang artinya adalah beban. Ia disebut beban karena merupakan kewajiban tambahan atas harta setelah zakat, sehingga dalam pelaksanaannya akan dirasakan sebagai sebuah beban. Secara bahasa maupun tradisi, dharibah dalam penggunaannya memang mempunyai banyak arti, namun para ulama memakai ungkapan dharibah untuk menyebut harta yang dipungut sebagai kewajiban dan menjadi salah satu sumber pendapatan negara. Sedangkan kharaj adalah berbeda dengan dharibah, karena kharaj adalah pajak yang obyeknya adalah tanah (taklukan) dan subyeknya adalah non-muslim. Sementara jizyah obyeknya adalah jiwa (an-nafs) dan subyeknya adalah juga non-muslim.[20]
Sumber utama pendapatan Negara menurut Islam dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
No.
Nama Pendapatan
Jenis Pendapatan
Subjek
Objek
Tarif
Tujuan Penggunaan
1
Ghanimah
Tdk Resmi
Non Muslim
Harta
Tertentu
5 Kelompok
2
Zakat
Tdk Resmi
Muslim
Harta
Tertentu
8 Kelompok
3
Ushr – Shadaqah
Tdk Resmi
Muslim
Hasil Pertanian/dagang
Tetap
8 Kelompok
4
Jizyah
Resmi
Non Muslim
Jiwa
Tidak tetap
Umum
5
Kharaj
Resmi
Non Muslim
Sewa Tanah
Tidak tetap
Umum
6
Ushr – Bea Cukai
Resmi
Non Muslim
Barang dagang
Tidak tetap
Umum
7
Waqaf
Tdk Resmi
Muslim
Harta
Tidak tetap
Umum
8
Dharibah (Pajak )
Resmi
Muslim
Harta
Tidak tetap
Umum

Selain itu, Negara juga mendapatkan sumber pendapatan sekunder, yaitu dari denda-denda (kafarat), hibah, hadiah, dan lain-lain yang diterima secara tidak tetap.[21]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar